Pages

Wednesday, March 25, 2009

18 March 2009 - The Evil of Desire

Semakin jauh rasanya dari hari ‘peluncuran album’ di Januari, dan semakin dekat rasanya kepada hari dimana saya akan gulung tikar, menurunkan gorden, dan menutup perjalanan panjang Raygava et al ini. Memang sih, itu masih akan terjadi di bulan Juni, namun semua terasa semakin dekat. Saya pun sudah memahami bahwa apabila saya harus berdamai dengan sesuatu, sesuatu itu adalah diri saya sendiri.

Kebetulan baru saja saya melihat acara televisi berjudul Tribe di Discovery channel. Acaranya sedang membahas kunjungannya ke tribe di Tibet. Walau tidak memperhatikan dari awal, disini pembawa acara menunjukkan dengan jelas ambisi dia untuk bisa mendaki Everest ke sebuah lokasi tertentu yg termasuk cukup tinggi untuk orang awam. Sebelum ditampilkan perjalanan dia mendaki gunung selama berhari-hari itu, dalam narasinya, ia mengungkit bagaimana Buddha sering mengajarkan bagi umat manusia untuk bisa ‘menahan’ desire-nya, dikatakan karena desire itu akan membawa evil. Karena desire dapat menimbulkan rasa sakit, kecewa, dan perasaan-perasaan lain yang serupa. Maka itulah dilakukan meditasi, sebuah usaha untuk meredam desire tersebut.

Perjalanan yang dilakukan pembawa acara Tribe ini cukup sulit, mengingat salju menumpuk sangat tinggi; dengan kata lain, ia datang dan mencoba mendaki di musim yang salah. Berhari-hari sudah si pembawa acara ini memaksa untuk bisa terus maju walau dalam kondisi alam yang tidak memungkinkan. Begitu tebal saljunya persis sekali dengan kondisi yang tergambarkan di komik Tintin in Tibet. Hingga suatu hari dimana tidak ada jalan lain selain kembali. Kawanan Yak pembawa barang-barang sudah tidak mampu lagi mendaki tebing yang curam dan bersalju, sehingga mau tidak mau seluruh tim harus pasrah dan kembali. Disitulah lalu dia menceritakan bagaimana dia sungguh kecewa dengan apa yang menimpanya. Sudah berbulan-bulan lamanya dia memimpikan akan mampu mendaki Everest ini. Dan dia tahu bahwa dia mampu, dia tidak pernah gagal dalam tantangan-tantangan fisik. Namun disini, pada akhirnya bukanlah kemampuan fisiknya yang akhirnya membuyarkan impiannya. Pada saat sebelum berputar turun gunung itulah dia lalu bercerita kepada pemirsa, bagaimana akhirnya dia mengerti apa yang dimaksud Buddha. Keinginan besarnya untuk mendaki gunung Everest inilah yang membuat dirinya buta dan terus memaksa sepanjang perjalanan, disaat para sherpa menyarankan untuk kembali karena misi ini cukup mustahil dalam kondisi alam yang demikian. Dan sekarang ia mengerti bagaimana sebuah desire bisa berakibat fatal, karena dapat menimbulkan rasa sakit, kecewa, dan frustrasi.

Sebuah tontonan yang inspirational sehingga mampu membuat saya bergegas menuju ke laptop saya ini dan menulis tulisan ini. Saya pun langsung mengerti bagaimana semua ini terjadi, dan hikmah apa yang harus saya ambil terkait dengan perjalanan saya ini.

Raygava et al tidak pernah sebelumnya menjadi sebuah desire yang demikian besar. Saya masih ingat pertama kali saya berencana kembali dari London waktu masih di tahun 2005-2006. Waktu itu saya membayangkan bahwa di Jakarta saya akan bekerja sampai jam 6-7-an lalu jam 9 malam akan bermain untuk sebuah band cafe. Terpikirkah disitu Raygava et al yang saya kenal saat ini? Sama sekali tidak.

Entah mengapa dalam perjalanannya tiba-tiba keinginan untuk ‘mendokumentasikan karya’ Raygava et al ini menjadi demikian besar. Semakin lama semakin menumpuk, dan semakin besar. Dan lalu tahun demi tahun berlalu sehingga seluruh target tiba-tiba berubah. Hingga 2008 akhirnya saya sudah mencapai titik dimana album dari Raygava et al menjadi sebuah blind desire, titik dimana akhirnya saya harus melakukan apapun sebisa mungkin untuk memastikan bahwa album ini berhasil diluncurkan.

Hal inilah yang membuat pengorbanan demi pengorbanan pada akhirnya dilakukan tanpa terasa. Dari mulai pengorbanan-pengorbanan di kehidupan sosial, uang-uang tabungan yang menguap dengan begitu cepat, bahkan terhadap umur yang terus bertambah, semua benar-benar tidak pernah mengganggu pikiran saya. Target saya sudah jelas, dan saya sudah terbutakan untuk bisa memenuhi target tersebut. Seperti pembawa acara Tribe tersebut, Raygava et al pun apabila memang gagal, bukan gagal karena musiknya jelek, melainkan faktor ‘alam’. Tuhan pun telah berulang kali menghambat saya dan menunjukkan kepada saya kondisi ‘alam’ yang seolah menentang desire saya. Tapi saya terus memaksa. Sama seperti dia, saya terus memaksa karena saya tahu kualitas yang saya miliki. Saya percaya Raygava et al adalah musik yang jenius. Seperti halnya si pembawa acara ini yakin akan kemampuan fisiknya. Namun pada akhirnya memang bukan kualitas diri lah yang menentukan. Bagaimanapun kondisi alam tidak diatur oleh diri kita.

Namun, bukan berarti desire saya kemarin ini adalah sebuah dosa. Tidak juga. Karena tujuannya tetap mulia. Ini adalah usaha pendokumentasian karya saya untuk generasi penerus saya, terutama anak dan cucu saya. Sebuah kenang-kenangan yang saya ciptakan terlebih dahulu jauh sebelum mereka ada. Suatu bentuk ‘dokumentasi’ yang akan dengan cepat menjelaskan tentang diri saya, kehidupan saya, dan mudah-mudahan bisa menjadi sebuah memoirs kecil untuk mereka mengerti. Apapun yang terjadi nantinya di akhir perjalanan ini, saya pun berharap akan dapat menjadi pelajaran bagi mereka. Jadi tidak, saya sama sekali tidak boleh merasa menyesal akan desire saya itu. Yang boleh saya rasakan yaitu bahwa sekarang saya sadar kalau saya tidak berhak untuk menuntut apapun dari perjalanan ini. Bahkan menuntut untuk bisa balik modal pun sebenarnya tidak berhak. Sebuah blind desire telah saya puaskan, dan secara bijaksana saya harusnya siap menerima apapun yang menjadi konsekuensinya. Termasuk bahwa Raygava et al akan kandas dan seluruh uang saya dan hutang saya akan lenyap tanpa ada yang kembali. Tuhan akan senantiasa memberi saya pelajaran demi pelajaran, kegagalan demi kegagalan, kekecewaan demi kekecewaan, dan kalau dilihat-lihat anehnya semua jauh lebih banyak dari orang lain pada umumnya. Dan ini adalah sesuatu yang semestinya saya syukuri, bukan saya tangisi.

Note:
1. Tulisan ini merupakan bagian dari rencana saya menyusun tulisan-tulisan inspirational dengan judul FINANCING A DREAM (rencananya). Hal ini pun sudah direncanakan jauh sebelum album raygava et al keluar di pasaran. Mengingat begitu banyaknya buku-buku yg mendokumentasikan keberhasilan, banyak teman-teman saya yg merasa bahwa akan sangat keren malahan apabila buku saya nanti menjadi sebuah tulisan yang mendokumentasikan kegagalan. Rencananya saya ingin mendokumentasikan bagaimana saya berjudi dengan hidup saya, mempertaruhkan segala hal dari mulai tabungan, pekerjaan, sampai hubungan percintaan, semua demi tercapainya sebuah legacy hidup.

2. Album WHERE I BELONG dari RAYGAVA ET AL. masih tersedia di toko-toko. Dan hingga saatnya tiba nanti, saya akan masih terus bergerilya dan melakukan apapun untuk Raygava et al ini..Dan dokumentasi akan perjalanan Raygava et al ini akan terus berlangsung. hehehe

No comments: