Seiring dengan pemberitaan tentang budaya konsumerisme di koran Kompas edisi hari ini, saya jadi teringat sudah lama rasanya ingin menulis tentang konsumerisme di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Banyak kutipan-kutipan menarik dalam artikel-artikel di Kompas pagi ini, namun saya akan mencoba membahas konsumerisme dari sudut pandang saya pribadi aja, biar lebih personal. hehehe.
Hidup di Indonesia kok Tekanan Malah Lebih Berat?
Mungkin saya awali dengan bagaimana tiba-tiba saya merasa hidup di Jakarta itu bebannya luar biasa berat. Saya pernah merasakan bekerja kantoran di London di 2005-2006, mencoba menabung padahal harga sewa flat luar biasa mahalnya. Maklum, kantor saya di kodepos EC1. Saya kembali ke Indonesia 2006 atas beberapa alasan. Anyway, bertahun-tahun bekerja di Jakarta yang seharusnya membuat saya lebih tenang, ternyata tidak juga. Bukan saja saya tidak lebih socially secure, saya juga tidak lebih financially secure.
Adalah beragam pressure di kota 'gila' seperti Jakarta yang senantiasa mengganggu kejiwaan manusia-manusia pekerja. Disamping biaya transport yang demikian tinggi, didukung oleh meningkatnya kemacetan dan bertambah buruknya infrasruktur-infrastruktur transportasi, kita digiring untuk menjadi lebih konsumtif. Makan-makan siang atau makan malam yang cukup mewah di Pacific place, belanja gadget terbaru yang memotong gaji secara cukup signifikan, dan puluhan contoh lainnya Semua demi apa? Demi sebuah status sosial?
Saya tidak ingin menyalahkan para produsen dan marketer, karena memang tugas mereka untuk menjual lebih banyak dan menaikkan laba usaha. Namun adalah salah kita sendiri, sebagai society, yang akhirnya menunjukkan kelemahan dari diri kita. Kelemahan besar manusia Indonesia sebagai makhluk yang 'terlalu' sosial !!
Manusia Indonesia sebagai Makhluk yang Sangat Sosial
Itulah mengapa jejaring sosial macam Facebook dan Friendster (dulu) sangat cepat boomingnya di Indonesia. Kebutuhan kita untuk bersosialisasi yang sangat besar inilah penyebabnya. Status sosial menjadi hal yang paling utama dalam prioritas kehidupan sehari-hari. Saya lebih suka menyebutnya dengan social pride. Dalam politik, belakangan ini kita saksikan partai-partai yang merasa perolehannya kurang tiba-tiba berburu-buru mencoba ciptakan koalisi besar demi 'menjaga martabat partai'. Jadi martabat-partai letaknya diatas kepentingan nasional. Hal yang serupa juga dengan pribadi-pribadi Indonesia, dimana social pride-nya kadang diletakkan jauh diatas kebahagiaan keluarga, pendidikan mental anak, atau hal-hal lain yang lebih esensi.
Sesuai janji saya, saya akan membahas ini dari kacamata saya saja, supaya lebih personal dan komentarnya gak ngawur. Tumbuh di Jakarta bersama ratusan teman-teman dan rekan-rekan sejawat kantor selama beberapa tahun ini, membuat saya menyadari banyaknya hal-hal yang tidak penting yang diperjuangkan oleh teman-teman sebaya saya (dalam range 5 tahun ke atas lebih tua dan 5 tahun ke bawah lebih muda).
Contoh, fenomena Blackberry yang sangat-sangat tidak penting dan highly overrated dapat menjadi demikian hebohnya karena social pride tadi. Social pride anda dapatkan dengan harga 3-10 juta. Padahal lucunya banyak pemakainya juga paling gajinya masih 5 jutaan, belum lagi anak-anak kuliahan yang entah apa pula manfaatnya selain cuma buat berinteraksi secara sosial lewat bbm, voice msg, ym, facebook, dan hal-hal seperti itu.
Saya juga melihat bagaimana manusia-manusia Indonesia di usia akhir 20-an nya (25 keatas) mulai mencari-cari ke-settle-an hidup, not necessarily karena mereka mendambakan hal tersebut, namun lagi-lagi demi social pride.
"Saya sudah menikah dooong,.."
"Saya sudah punya bayiii doong.."
"Ihhh kamu umur udah 27/28/29 masih kesana kemari. Kalah ihhh sama akuu.."
"Aku dan suamiku udah lunas dong cicilan mobil nya.."
, seolah-olah mereka semua berusaha mencibir satu sama lain. Pasangan-pasangan muda berlomba-lomba memasukkan foto bayinya ke facebook sebagai bukti akan 'kemenangan'-nya dalam kehidupan. Apakah benar mereka pemenangnya?
Fenomena manusia Indonesia yang kelewat sosial inilah yang pada akhirnya melukai diri kita. Sebagian besar dari diri kita dibawa untuk menjadi sangat concern terhadap apa yang orang lain lihat di diri kita. Banyak perempuan-perempuan yang malu kalau mendekati 30 dan belum menikah juga, boro-boro masih malu kadang sangat frustrasi sehingga siapapun yang mau akhirnya dinikahin juga lah. Padahal gak pengen-pengen amat juga.
Sebagaimana selama hampir setahun terakhir ratusan teman saya telah mencibir saya,"ihhh BB tuh banyak banget tauu gunanya, sangat bermanfaat !" Well, that i know, my friends, tapi saya masih punya prioritas-prioritas pengeluaran lain dalam hidup ini yang jauh-jauh lebih penting. Somehow kita menjadi malu apabila kita tidak melakukan apa yang diinginkan oleh society.
Itulah kenapa kadang saya cukup takjub melihat desainer-desainer di Project Runway, satu-satunya reality show favorit saya. Kenapa? Kadang saya melihat orang-orang berumur 30-36 tahun, masih dengan ambisinya dan cita-citanya ingin menjadi seorang fashion designer. Woww !!.. that's something. Why? Karena itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Indonesia, dimana manusia-manusia nya teramat sosial. Disini, semua orang akan bilang gila kalo ada orang umur 36 tahun masih mencoba mengejar 'dreamjob' nya.
Saya yang meninggalkan kerjaan, menghabiskan tabungan (plus hutang) demi supaya punya album (sebuah memorabilia hidup) aja masih dicaci maki oleh society.
"C'mon! Wake Up !!... go get a job !"
"Udah lah Ga, hidup lo udah berantakan begini, udahin aja.."
"Ga, please deh, lo udah umur segini. Sudahlah, stop playing around with your life.."
Orang-orang kantoran Jakarta, yang tentunya merasa sebagai 'manusia normal' selama ini pun sudah cukup menuding dan menuduh-nuduh saya yang engga-engga. Memberi saran-saran dan nasehat-nasehat yang sangat tidak membangun, dan malah menghancurkan mental. Why? Terimakasih kepada manusia-manusia Indonesia yang 'terlalu' sosial.. !!
Sehingga akhirnya rasanya berat bagi orang yang (saya rasa sih) cukup adventurous seperti saya. Bebannya sangat besar untuk hidup di Jakarta. Saya telah di-cap gila karena mengejar sebuah rencana saya, meninggalkan kerjaan, menyisihkan urusan-urusan perempuan, menjauh dari kehidupan yang settle, dan lain-lain. Capek rasanya. Sangat kontras dibandingkan malah dengan komentar teman-teman saya para office workers di Shanghai, NY, Singapore, London dan Seoul. Yang mana justru mereka ngiri karena keberanian dan kenekatan saya yang demikian besar... Sayang di Indonesia hal seperti ini value nya sangat rendah. Lebih rendah dari sebuah blackberry. hahhahaha
Manusia-manusia Indonesia terbelenggu oleh perkataan-perkataan dalam society mereka, sehingga diskon besar-besaran Crocs tiba-tiba menjadi ajang terbesar bulan ini, tidak memiliki Blackberry menjadi suatu bentuk keacuhan sosial, tidak menyukai musik pop-jazz macam Maliq atau Ecoutez menjadi sebuah ketidak-trendy-an, tidak datang ke sale besar MAP di suatu gedung perkantoran menjadi sebuah ketelatan informasi, Belum pernah nyobain Sour Sally atau Heavenly Blush menjadi sebuah dosa, Belum pernah ke Immigrant menjadi sebuah tanda lengsernya seseorang dari dunia ke-eksis-an pergaulan malam Jakarta, ..... dan seterusnya... Ini di level menengah atas.
Di level menengah bawah, Tidak punya motor menjadi fenomena ketidakgaulan yang akut, tidak memasang ringback tone (nada sambung pribadi) hits-nya ST12 yang terbaru menjadi bukti bahwa seseorang tidak peduli terhadap musik, .. dan seterusnya..
Dan seterusnya pula manusia Indonesia akan terus terbelenggu oleh konsumerisme yang tidak penting, apabila manusia Indonesia terus menjadi makhluk yang 'terlalu' sosial. Dimana setiap manusia berlomba-lomba untuk 'keliatan sama kerennya' (atau lebih keren) dibanding temen-temennya... dengan BB atau iPhone terbaru, makan di social house/potatohead .. atau sebatas menikah terburu-buru dan lalu pamer-pamer foto anak.
hehhehhe (tawa sinis)